KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU)
KH. M. Hasyim Asy’ari Pendiri dan Pegasuh Pertama Pesantren Tebuireng (1899 – 1947)
KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari (selanjutnya disingkat Kiai Hasyim) adalah
pendiri pesantren Tebuireng, tokoh ulama dan pendiri NU, organisasi
Islam terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Namanya sudah tidak
asing lagi di telinga orang Indonesia. Pahlawan nasional ini merupakan
salah satu tokoh besar Indonesia abad ke-20. Beliau juga pendiri
pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga
mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi,
dan berpidato.
Kelahiran dan Masa Kecil
Kiai
Hasyim lahir pada Selasa Kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H, bertepatan
dengan tanggal 14 Februari 1871 M, di pesantren Gedang, desa Tambakrejo,
sekitar 2 km. ke arah utara kota Jombang. Putra ketiga dari 11
bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah
menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang.
Dari
jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga
Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu,
nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang
berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja Pajang
pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran
Adiwijaya.
Tidak
jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang
Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok
tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang
kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan
dikaruniai enam anak:
- Halimah (Winih)
- Muhammad
- Leler
- Fadli
- Arifah
Halimah
kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama
Asy'ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy'ari
hampir berusia 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
- Nafi’ah
- Ahmad Saleh
- Muhammad Hasyim
- Radiyah
- Hasan
- Anis
- Fatonah
- Maimunah
- Maksun
- Nahrowi, dan
- Adnan.
Masa
dalam kandungan dan kelahira KH.M. Hasyim Asy'ari, nampak adanya sebuah
isyaroh yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam
kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam
kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak
merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur asing), mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan belaiu yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu.
Bakat
kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika
bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi
penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan
menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang
suka menolong dan melindungi sesama.
Pada tahun
1293 H/1876 M., tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama
kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras, sekitar 8 km. ke selatan Kota
Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana.
Di
Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang
kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di
sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya.
Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan
mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu
menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan.
Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa
dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal ini ditunjang oleh
kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah
bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar daripada
dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim juga dikenal
rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek,
mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa
bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan
waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan
berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal
menuntut ilmu.
Mencari Ilmu
Perjalanan
keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu
agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup
yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama
yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok
Pesantren Asy'ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan
lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah
dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau
belajar secara autodidak. Ketidak puasannya terdahap apa yang sudah
dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya
belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di
Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai
melakukuan pengembaraanya menuntut ilmu.
Pada
usia 15 tahun, remaja Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya untuk
berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di
Pesantren Wonorejo Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo,
kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya.
Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah
ilmiyahnya ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan
Kiai Kholil bin Abdul Latif (Syaikhona Mbah Kholil) yang terkenal
waliyullah itu.
Ada cerita yang cukup
mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy'ari "ngangsu kawruh" dengan Kiai
Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertannya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin
istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli
cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah
cincin istinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu,
Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC.
Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan
penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim
menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas
keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi
sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun
setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan
pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam'iyah Nahdlatul
Ulama' yang dibawa KH. As'ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren
Syafi'iyah Situbondo).
Setelah sekitar
lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307
H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren
Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal
ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin
mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan
menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai
Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah,
putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau
kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama
istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau
juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap
ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama
dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits
Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan
hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci
Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra
yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati
itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.
empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang
ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai
dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya
penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah
lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu,
beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa
dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci,
kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Belajar Lagi di Tanah Suci
Kerinduan
akan tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi ke kota
Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah
bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran
Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh
Yang Maha Kuasa.
Peristiwa ini tidak membuat
Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin
mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada
Allah. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan
diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua
Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu
pagi beliau berangkat menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih 10 km.
di luar Kota Mekkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis
Nabi.
Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Kiai
Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin
dipelajarinya. Beliau juga membawa perbekalan untuk dimakan selama enam
hari di sana. Jika hari Jum’at tiba, beliau bergegas turun menuju Kota
Mekkah guna menunaikan salat Jum’at di sana.
Kiai Hasyim juga
rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari
mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara lain: Syeikh
Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib
al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh
Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah
sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki,
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid
Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha
al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di
Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi
wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf,
Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.
Setelah
ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di
Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh
Nawawi al-Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau
mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh
Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli
hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul
Wahhab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH.
Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh
(Tayu).
Pada tahun ketujuh di Makkah—tepatnya tahun 1899 (1315
H)—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Diantara rombongan
terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta putrinya yang
bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim
mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.
Setelah
pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah
air. Pada awalnya, beliau tinggal di Kediri selama beberapa bulan.
Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang
yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek.
Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok
Keras.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Sepulang
dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar
santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh
oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan
dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri.
Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar
Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak
berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika
telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren
yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu
merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja
menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu
tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada
asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada
se-eokor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak
sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah
warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi
kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah
daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Tahun
1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh
Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir,
pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di
arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun
sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat
tinggal.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317
H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan
seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai
Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan
ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di
Tebuireng dapat diatasi.
Dari tratak kecil
inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan
salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang
dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan
tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah
dua tahun membangun Tebuireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan
istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah
menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kiai
Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas,
pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai Hasyim
dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4)
Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim,
(8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada
akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim menikah
kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok
Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kiai Hasyim
dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3)
Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
KH. M.
Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu
keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan
Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti
oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa.
Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH.
M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama
berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan
diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok
Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat
tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
Pendidik sejati
Selain
mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur
kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan
persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada
tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi
sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri.
Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi
pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam
klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul
Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim
juga tipe pendidik yang sulit dicari tandingannya. Sejak pagi hingga
malam, Kiai Hasyim menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari,
kegiatan beliau dimulai dengan menjadi imam salat subuh di masjid
Tebuireng, yang berada tepat di depan rumahnya, dilanjutkan dengan
bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai wirid, beliau mengajar kitab
kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Diantara kitab yang
diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq
al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Setelah selesai mengaji,
Hadlratus Syeikh yang terbiasa berpuasa itu mememui para pekerja yang
sudah berkumpul di samping rumah. Beliau membagi tugas kepada mereka;
ada yang ditugaskan merawat sawah, membenahi fasilitas pondok, membenahi
sumur, dan lain sebagainya. Setelah itu, beliau mendengarkan
laporan-laporan mengenai hal-hal yang pernah beliau perintahkan.
Sekitar
pukul 07.00, Kiai Hasyim mengambil air wudlu’ untuk salat dhuha. Beliau
biasanya mengambil air wudhu di jeding samping ndalem dengan hanya
mengenakan sarung dan kaos putih. Setelah salat dhuha, dilanjutkan
dengan mengajar santri senior. Tempatnya di ruang depan ndalem. Kitab
yang pernah diajarkan antara lain al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan
Al-Muattha’ karya Imam Malik ra. Pengajian ini berakhir pada pukul
10.00.
Mulai jam 10.00 pagi sampai jam 12
adalah waktu istirahat, yang digunakan untuk agenda-agenda seperti
menemui tamu, membaca kitab, menulis kitab, dan lain-lain. Sebelum azan
zuhur, kadang kala beliau menyempatkan diri untuk tidur sebentar
(qailulah), sebagai bekal untuk qiyamul lail dan membaca al-Qur’an.
Ketika azan zuhur berkumandang, beliau bangun dan mengimami salat zuhur
berjama’ah di masjid. Selepas salat zuhur, beliau mengajar lagi sampai
menjelang waktu asar.
Kira-kira setengah jam
sebelum asar, Kiai Hasyim memeriksa pekerjaan para pekerja yang
ditugasinya tadi pagi. Setelah menerima laporan, beliau kembali ke
ndalem kemudian mandi.
Setelah terdengar azan
asar, beliau kembali ke masjid dan mengimami salat ashar, dilanjutkan
dengan mengajar para santri di masjid sampai menjelang maghrib. Kitab
yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua
santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara
kontinue dibaca setiap selesai salat asar.
Setelah
salat maghrib, Kiai Hasyim menyediakan waktu untuk menemui para tamu
yang datang dari berbagai daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang,
Surabaya, Madiun, Kediri, Solo, Jakarta, Jogyakarta, Kalimantan, Bima,
Sumatra, Telukbelitung, Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan
oleh Nyai Marfu’ah, pembantu Kiai Hasyim, bahwa setiap harinya Kiai
Hasyim menyediakan banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu.
Dalam satu hari, jumlah tamunya bisa mencapai 50 orang.
Setelah
salat isya, beliau mengajar lagi di masjid sampai pukul sebelas malam.
Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tashawuf dan tafsir. Di bidang
tasawuf beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali,
dan untuk tafsir adalah Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Kastir.
Setelah
itu Kiai Hasyim muraja’ah Al-Qur’an dengan disimak oleh beberapa
santri. Beliau mengahiri kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu
malam dan bangun satu kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran.
Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum Subuh), Kiai Hasyim
sudah berkeliling pondok untuk membangunkan para santri agar segera
mandi atau berwudlu’ guna malaksanakan salat tahajjud dan salat subuh.
Ketika usianya sudah beranjak sepuh dan harus memakai tongkat untuk
menyangga tubuhnya, Kiai Hasyim tetap menjalankan aktivitasnya
membangunkan para santri menjelang subuh.
Kiai
Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi bangsa
yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi
santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada
yang tanpa bekal sedikitpun. Karena itu, Kiai Hasyim memberikan jatah
makan harian kepada para santri yang tidak mampu. Lalu setiap hari
Selasa, Kiai Hasyim mengajak mereka untuk berwiraswasta atau pergi ke
sawah untuk bertani.
Kecintaan Kiai Hasyim pada
dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada
setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng: ”Pulanglah ke
kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji.”
Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak
awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan
sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk pengajaran tidak
dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan
bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun
hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab.
Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab
berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode
pengajaran pun ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh
sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh
jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam
20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh
saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di
Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan
sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran
yang diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun
1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi
dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir
tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah lima tahun
berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara
khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi
pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun
1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah
Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia
(Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas
tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan
Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah
digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai
Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat
Tebuireng).
Pengajian Rutin Shahih Bukhari-Muslim
Meskipun
sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat, namun tradisi
pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau
terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak pernah
bosan mengikuti pengajian beliau.
Kegiatan
mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari
Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur
itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan
ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng.
Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan
kegiatan kemasyarakatan seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa,
selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak
famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok pesantren.
Hari
libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk memberikan
pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri.
Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu
meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat penting bagi santri,
sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.
Selain
mencari nafkah, pada hari Jum’at Kiai Hasyim juga memiliki kegiatan
memperbanyak membaca al-Qur’an. Kemudian setelah salat jum’at, beliau
memberikan pengajian umum kepada santri dan masyarakat. Dalam pengajian
umum ini, Hadratus Syekh memberikan materi Tafsir al-Jalalain, sebuah
kitab tafsir karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi ra.
Kebiasaan
lain yang tak pernah beliau tinggalkan ialah membaca shalawat kepada
Nabi Muhammad SAW. Beliau juga sering membaca kitab Dalail al-Khairat
yang di dalamnya banyak terdapat shalawat. Ketika ada santri yang
menganggur, beliau mengingatkannya untuk membaca shalawat agar waktu
yang mereka miliki tidak sia-sia.
Pada bulan
Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari (4 jilid) dan
Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini dimulai pada tanggal
15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari).
Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut
satu sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai
Kholil Bangkalan, dan menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji,
Sidoarjo.
Dekat kepada Allah
Dikisahkan,
ketika Hadratus Syeikh merasa amat letih karena siang harinya
menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa
memberikan pelajaran di malam hari kepada para santri. Sehabis salat
Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai Hasyim baru bangun
pada pukul setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil air wudhu,
berpakaian rapi dan menjalankan salat tahajjud. Meskipun pada siang
harinya belum makan, beliau tidak juga makan di malam hari, padahal
persediaan makanan masih ada. Selesai salat tahajjud diiringi dengan
wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an lalu dibacanya
dengan perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika sampai pada
surat Ad-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:
Mereka (para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka memohon ampun [Ad-Dariyat:17-18].
Seketika
itu beliau menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis
terisak-isak. Sejurus kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang
sudah memutih. Kiai Hasyim merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu
banyak tidur. Sambil menengadahkan tangan, beliau berdo’a, ”Ya Allah,
ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta
ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu.” Kemudian
beliau bangkit dari tempat duduknya menuju tempat salat, lalu bersujud
kepada Allah memohon ampun. Lisannya terus membaca tasbih.
Peristiwa
seperti ini terjadi berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang
siksa, ancaman, dan murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan
perintah-perintah Allah yang terlupakan oleh kaum muslimin, beliau
selalu meneteskan air mata.
***
Suatu malam, Kiai
Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai
di tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang
membaca al-Qu’an surat al-Muzammil: 1-9 yang artinya:
”Wahai
orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam
hari kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam),
dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan
menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu
malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih
berkesan. Sesungguhnya kamu di siang hari mempunyai urusan yang panjang
(banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh
ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada tuhan melainkan
Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung.” [al-Muzammil: 1-9]
Mendengar
ayat itu, Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah Swt.
melalui santrinya. Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan
bermalas-malasan menuruti hawa nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur
dibatalkan.
***
Diceritakan pula, pada tahun 1943,
Kiai Hasyim diserang demam yang sangat hebat. Ketika telah masuk waktu
zuhur, beliau memaksakan diri bangkit dari tempat tidur menuju kolam
untuk mengambil air wudhu’. Beliau berjalan sambil dipapah oleh kedua
putranya. Setelah mengambil air wudhu’, beliau memakai baju rapi
disertai sorban untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah seorang
putranya, Abdul Karim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah.
Sebaiknya ayah salat di rumah saja!”
Beliau menjawab,
”Ketahuilah anakku, api neraka itu lebih panas dari pada demamku ini!”
Kemudian beliau bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid dengan
dipapah.
Sepulang dari masjid, penyakitnya semakin parah.
Sanak famili dan putra-putrinya berdatangan. Badannya terbujur lemah di
atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri. Tapi tak
lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata.
Adik perempuannya bertanya, ”Di manakah yang terasa sakit, kakak?”
Dengan
nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, ”Aku menangis bukan karena
penyakitku, bukan pula karena takut mati atau berat berpisah dengan
famili. Aku merasa belum mempunyai amal shaleh sedikitpun. Masih banyak
perintah-perintah Allah yang belum aku kerjakan. Alangkah malunya aku
menghadap Allah dengan tangan hampa, tiada mempunyai amal kebaikan
sedikitpun. Itulah sebabnya aku menangis.”
***
Pernah
beberapa kali penjajah hendak menghacurkan Pondok Pesantren Tebu Ireng.
Dengan berkali-kali menghujankan bom di pesantren tersebut, tapi bom
itu tidak pernah ada yang meledak satupun.
Pondok
Pesantren Tebu Ireng selain sebagai tempat belajar para santri, juga
sebagai salah satu markas pasukan pejuang kemerdekaan Republik
Indonesia. Pada waktu terjadi perang kemerdekaan, semua orang yang akan
pergi berperang menghadapi penjajah, akan dikumpulkan terlebih dahulu
oleh sang panglima KH. Hasyim Asy’ari. Mereka diberi air minum sambil
dibacakan: “Ya Allah Ya Hafidz, Ya Allah Ya Muhith, Fanshurna ‘ala
Qaumil Kafiriin.”
Semua orang yang dikumpulkan
tersebut, oleh KH. Hasyim Asy’ari diberi beberapa pantangan yang tidak
boleh mereka langgar selama berperang. “Siapapun yang melanggar
pantangan tersebut, maka pasti akan terkena tembakan musuh!” tegas Mbah
Hasyim. Pak Si’in, adalah salah seorang saksi sejarah atas kejadian itu
yang masih hidup.
Atas izin Allah Swt., KH.
Hasyim Asy’ari mampu mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat lain,
meskipun dirinya berada jauh dari tempat itu. Serupa dengan riwayat yang
mengkisahkan tentang karomah sahabat Umar bin Khaththab Ra., yang mana
beliau dapat mengetahui apa yang sedang terjadi pada pasukannya di medan
perang dan cukup beliau memberi perintah dari atas mimbar.
Waktu
itu KH. Hasyim Asy’ari sedang mengajar di hadapan para santrinya di
pondok (Tebu Ireng). Pada saat yang sama beliau dapat mengetahui keadaan
para pasukannya yang sedang melawan penjajah di daerah Pare, sebuah
daerah yang jauhnya kira-kira 30 km dari Pondok Pesantren Tebu Ireng.
Disamping mampu melihat suasana perang yang sedang berlangsung dari
jarak 30 km, KH. Hasyim Asy’ari pun cukup memberi perintah kepada para
pejuang itu dari tempat mengajarnya.
Jikalau
KH. Hasyim Asy’ari ingin memberi suatu amalan kepada santrinya, maka
dipanggillah 3 orang santri, lalu dilihat dengan mata hatinya. Dari
bashirah itu, beliau lalu memilih salah seorang dari ketiga santri
tersebut yang benar-benar memiliki kemampuan melaksanakan amalan yang
akan beliau berikan. Berikutnya, dua orang santri yang tidak beliau
pilih, mereka disuruh keluar dari ruangan tempat mereka dipanggil.
Bukan
hanya kyainya yang hebat, tapi para santrinya pun memiliki nilai
keramat. Terbukti saat Jepang menjajah Indonesia, di daerah Jombang
terdapat para tentara Jepang yang siap menindas. Namun setiap kali
tentara Jepang mendatangi Pondok Pesantren Tebu Ireng, kendaraan yang
mereka pakai selalu tidak bisa berjalan jika bannya disentuh oleh para
santri KH. Hasyim Asy’ari.
Hadhratus Syaikh KH.
M. Hasyim Asy’ari, disamping dikenal sebagai tokoh Islam dan pendiri
NU, beliau juga dikenal sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu dari jasa
beliau adalah mengenai peran serta beliau ketika terjadi perang
kemerdekaan di Surabaya. Ketika itu, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan
Resolusi Jihad yang mewajibkan setiap orang Islam yang tempat tinggalnya
berjarak di bawah 96 km dari Surabaya, mereka wajib datang ke Surabaya
untuk berperang melawan penjajah. Akhirnya masyarakat Islam
berbondong-bondong datang ke Surabaya dan tidak sedikit dari mereka
datang dari daerah yang jauh.
Meskipun para
pasukan pejuang kemerdekaan Indonesia hanya menggunakan senjata seadanya
seperti bambu runcing, namun atas berkat doa para ulama, Allah
menurunkan pertolonganNya sehingga tentara penjajah menderita kerugian
besar. Peperangan bersejarah itulah yang terjadi pada tanggal 10
November yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan oleh Bangsa
Indonesia.
Karya-Karya Kiai Hasyim
Disamping
aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang
produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara
pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar
yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya
Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika
masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham
persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang
aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid,
Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah
fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai
Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah
Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’.
Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah
fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi,
hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain
membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa
dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk
kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan
keadilan, dll.
Karya-karya KH. M. Hasyim Asy’ari yang dapat di telusuri hingga saat ialah:
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan.
Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya
interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20
Syawal 1360
H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama.
Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul
Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai
beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.
Pernah dicetak oleh percetakan Menara Kudus tahun 1971 M. dengan
judul, ”Ihya’ Amal al-Fudhala’ fi al-Qanun al-Asasy li Jam’iyah
Nahdhatul
Ulama’”.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah.
Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Tebal 4
halaman, berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara
empat
madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di
dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum
(istinbat al-ahkam),
metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
4. Mawaidz.
Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya
kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, dan lain
sebagainya. Testament keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres
Nahdhatul Ulama’ ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan pernah
diterjemahkan oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5 tanggal 15 Agustus 1959, tahun pertama halaman 5-6.
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’.
40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin.
Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi
dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani,
dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi
singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat
shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat.
Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang
dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah
dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri
di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi
dengan
perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki
dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada
halaman pertama
terdapat pengantar dari tim lajnah ulama
al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri
dari 15 bab setebal 63 halaman,
dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah.
Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan
kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
Berisi 9 pasal.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani.
Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi
polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya
juga
terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan
fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
Tebal 144 halaman.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah.
Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi
tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-
hak dalam perkawinan. Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab
Miftah al-Falah karya almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq, sehingga
tebalnya
menjadi 75 halaman.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah.
Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian
tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19
masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah
Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan
Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii
halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman
29.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid.
Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah
an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan
Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak
bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf
serta
dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban.
Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad
Said ‘Ali (al-Azhar).
Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf.
Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat,
thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama
kitab
al-Risalah fi al-‘Aqaid.
14.
Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi
Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih.
Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para
pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya
Syekh
Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim
al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji
(w.591 H); dan Tadzkirat
al-Saml wa al-Mutakallim fi
Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab,
diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-
Islamy Tebuireng.
Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti:
Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil
Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru
besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said
al-Yamani
(Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
Selain
kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya
KH. Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1.Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2.Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3.Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4.Al-Risalah al-Jama’ah
5.Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6.al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7.Manasik Shughra
NU dan "Tongkat Musa"
Ketika
Musa alaihi salam bermunajat pada Tuhan di gunung tursina, maka Tuhan
bertanya pada Musa,apa yg ada ditanganmu hai musa? lalu berkata musa,
ini adalah tongkatku, aku berpegang padanya, dan aku menggayuh
ranting-ranting dedaunan denganya untuk kambing-kambingku, dan ada lagi
kegunaan lainya. Lalu Tuhan berkata, “Lemparkanlah (tongkatmu) hai
musa”, lalu dilemparkan tongkat itu dan menjadi ular yg merayap, Tuhan
lalu memerintahkan agar memegang ular itu dan jangan takut, dia akan
berubah seperti semula,…
Pada
tahun 1924 syaikhu masyayikhuna Mbah Hasyim Asy’arie solat istikharoh,
mencari ilham solusi bagi bangsa, akan tetapi hasil istikharoh beliau
justru tembus pada guru beliau kiai Kholil Bangkalan Madura, maka Mbah
Kholil memerintahkan santrinya, Kiai As’ad untuk menyerahkan tongkat
kepada Mbah Hasyim di Jombang, sembari berwasiat agar membacakan surah
Toha ayat 17-21. Ketika menyerahkan tongkat ini kepada Mbah Hasyim….Mbah
Hasyim menafsiri tongkat dari Mbah Kholil sebagai bentuk bahwa
kita/bangsa ini membutuhkan wasilah untuk berjuang melawan tiran. Akan
tetapi Mbah Hasyim masih mempertimbangkan sana sini, hingga pada tahun
1925 Mbah Hasyim kembali beristikhoroh, dan lagi-lagi istikhoroh beliau
tembus pada Mbah Kholil, lalu Mbah Kholil mengutus santrinya untuk
menyerahkan tasbih kepada Mbah Hasyim. Tasybih tersebut di kalungkan
Mbah Kholil pada santrinya tadi…
Di
perjalanan dari Bangkalan menuju Jombang SANTRI UTUSAN TADI BERTEMU
ORANG-ORANG DENGAN BERBAGAI REAKSI, ADA YG KAGUM DAN MEMUJI BAHWA DIA
PASTI ORANG SOLIH KARENA BERKALUNGKAN TASYBIH, ADA JUGA YG MENCACI DAN
MENGATAKAN KL DIA ITU ORANG GILA,KARENA BERKALUNGKAN TASYBIH…NAMUN MESKI
DIPUJI ATAU DICACI, SANTRI TERSEBUT TIDAK BERGEMING DAN TETAP MEMAKAI
TASYBIH DILEHERNYA SESUAI PERINTAH MBAH KHOLIL..
Sesampainya
di Jombang, Mbah Hasyim menerima tasybih kiriman dari Mbah Kholil, Mbah
Hasyim menafsiri bahwa ini sudah saatnya kita membuat wadah, wasilah
untuk berjuang, untuk agama dan bangsa ini,maka dibentuklah Nahdlotul
Ulama..
Ya… Nahdlotul Ulama’ yangg jauh-jauh
hari diisyarohkan Mbah Kholil sebagai tongkat Musa, bahkan ditasdid
dengan ayat 17-21 surat Thoha, maka NU adalah tongkat Musa, yang di
dalamnya akan dijadikan wasilah untuk kita berpegang, untuk menggayuh
dedaunan kesejahteraan ekonomi, untuk berjuang melawan tirani
penjajahan, NU sebagai garda pejuang melawan penjajah dan merebut
kemerdekaan, dan tentunya sebagai cikal bahkan NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA…
Inilah tongkat musa bangsa ini,maka
spt isyaroh kedua mbah holil, bahwa NU sebagai wasilah harus seperti
tasybih yg dikalungkan dileher, meski dicaci ataupun dipuji, jangan
pernah kita/bangsa ini mencoba untuk melepasnya..tak ayal, jika seorang
pemikir muda negri ini berkata ”idza soluhat NU, soluhat Indonesia, wa idza fasadat NU, fasadat Indonesia”…
Komite Hijaz dan Pendirian NU
Penjajahan
panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum
terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang
kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional
terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisasi
pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918
(dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari
situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan
adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok
studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar
adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum
Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir
sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala
itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada
masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab
Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan
semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum
Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana
tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah
di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S.
Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati
keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan
peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari
keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi
dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang
akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong
oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa
kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim
bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai
Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke
Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada
saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru
dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan.
Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah
sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan
pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab
dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang
sangat berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi
taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah
organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. Hasyim
Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan
salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti
sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kiai Hasyim sangat gelisah.
Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul
Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di
Bangkalan sana, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai
Hasyim. Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang
bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah
Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai
Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng
membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika
Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut,
hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya
akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu
terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga
terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu
tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus
Syeikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih
ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai
Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut,
meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh
dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam
perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki
prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh
melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri
kepada sang guru.
”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran
As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratus
Syeikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama
kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang
dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada
tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara
resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan
ulama. Kiai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah
ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di
Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan
hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham
pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham
bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh
antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan
praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.
Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola
pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat
Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan
Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.
Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi
Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kiai Hasyim
pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali
ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan
madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami
maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama
madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan
para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu
menjadi ”kiblat” para kiai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian
Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi
pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI),
Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai
pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Berjuang Mengusir Penjajah
Peran
KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau
terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah
belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi
pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak
tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya
beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian
tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad
SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
- Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan- Harta benda yang berlimpah-limpah- Gadis-gadis tercantik
Akan
tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: "Demi Allah, jika mereka
kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku
dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau
menerimanya bahkan nyawa taruhannya". Akhir KH.M. Hasyim Asy'ari
mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan
menjadikan tauladan dari perbuatan Nabi SAW.
Masa-masa
revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu
terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan
oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami
penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat.
Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam
tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik
Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau mefatwakan
pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari
pahlawan nasional.
Masa awal perjuangan Kiai
Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan
penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang
penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif
Belanda.
Pada tahun 1913 M, intel Belanda
mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia
tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menagkap Kiai Hasyim
dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang
sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan
tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum
puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi
pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an
tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda,
dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda
ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada
bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di
Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan
Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon
menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda
yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan
represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para
pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif
Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syeikh beserta sejumlah putera
dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan
seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo
setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah
pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara
Jepang.
Kiai Hasyim menolak aturan tersebut.
Sebab hanya Allah SWT lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya,
Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari
penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan,
Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syeikh berada di
pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama
dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga
salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah
penahanan Hadratus Syeikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di
Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan
keluarga Hadratus Syeikh tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai
Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal
18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh
Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu,
pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai
Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama
Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober
1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang
dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin
Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan
alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama
menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris
tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya.
Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10
November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi
Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya
untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember
kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada
tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember
1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis
Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah
satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim
diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama
masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai
penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar
perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin.
Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk
kepada Kiai Hasyim.
Mbah Hasyim Asy'ari, Berjuang sampai Mati
Jombang,
malam tanggal 25 Juli 1947. Hadrotusy Syekh KH Hasyim Asy’ari, beberapa
saat selepas sembahyang tarawih 7 Ramadhan 1366 H. Tak lama kemudian,
datang dua utusan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Bung Tomo,
pembangkit semangat perjuangan.
Salah seorang
utusan itu bernama Kiai Gufron, pemimpin Sabilillah Surabaya. Keduanya
mengabarkan situasi bangsa selepas Agresi Militer Belanda I 21 Juli
1947. Karena agresi itu, wilayah Indonesia makin menciut; tinggal
selembar daun kelor. Wilayah itu cuma meliputi garis Mojokerto di
sebelah timur, dan Gombong di Kebumen. Di sebelah barat tinggal
Yogyakarta sebagai pusatnya.
“Jenderal Spoor sudah merebut Singosari, Malang,” ujar perwakilan itu.
Rais
Akbar Nahdlatul Ulama yang berusia 76 tahun itu kaget luar biasa.
Jatuhnya kota perjuangan, pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah
--dua badan kelaskaran di bawah komando kiai-kiai NU-- Malang ini,
sangat mengejutkan KH Hasyim Asy’ari.
“Masya Allah, Masya Allah!” pekiknya.
Lalu ia memegang dan menekan kepalanya kuat-kuat. Keterkejutan yang hebat ini membuatnya pingsan.
Menurut
KH Syaifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren,
karena mendengar kabar itu, KH Hasyim Asy’ari mengalami pendarahan otak.
Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang, tidak bisa berbuat apa-apa
karena keadaannya sangat parah sekali.
Kemudian
menurut buku 20 Tahun Indonesia Merdeka VII yang diterbitkan Departemen
Penerangan, hal tersebut menunjukkan betapa penuhnya perhatian ulama
besar tersebut akan nasib perjuangan bangsa dan negara.
Karena
situasi bangsa di bawah kekuasaan penjajah Belanda, di samping
mengajar, ia turut memikirkan dan memperjuangkan kemerdekaan.
Keluar-masuk penjara pun jadi risiko.
Pada
masa itu, ia mengeluarkan dua buah fatwa yang terkenal dalam sejarah.
Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad, hukumnya wajib bagi setiap
orang (fardhu ain). Kedua, melarang kaum muslimin beribadah haji
menumpangi kapal-kapal Belanda.
Pada masa
penjajahan Jepang ia pernah ditahan bersama KH Mahfudz Siddiq, karena
menolak Seikerei, membungkuk 90 derajat tiap pukul tujuh pagi untuk
menghormati Kaisar Jepang. Selama empat bulan ia dipenjarakan
berpindah-pindah dari Jombang, Mojokerto hingga Bubutan, Surabaya;
bercampur dengan tawanan Sekutu.
KH
Hasyim Asy’ari wafat, tapi tetap mewariskan darah pejuang kepada
putra-putranya, yaitu KH Wahid Hasyim, salah seorang perumus Pancasila
dan Menteri Agama RI tiga kali. KH Choliq Hasyim menjadi Daidanco
(Komandan Batalyon Pembela Tanah Air, PETA,) KH Yusuf Hasyim aktif di
Laskar Hizbullah sebagai Komandan Kompi II. Salah seorang cucunya
menjadi pejuang kemanusiaan dan demokrasi terdepan, KH Abdurahman Wahid.
Mutiara Nasehat KH Hasyim Asy'ari
Diterjemahkan
dari kitab al-Mawa’idz karya Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
Pendiri Nahdlatul Ulama, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Bismillahirrahmanirrahim...
(Risalah
ini) dari makhluk yang termiskin, bahkan pada hakikatnya dari orang
yang tidak punya sesuatu apapun, Muhammad Hasyim Asy’ari semoga Allah
Swt. mengampuni keturunannya dan seluruh umat muslim. Kepada teman-teman
yang mulia penduduk tanah Jawa dan sekitarnya, baik ulama maupun
masyarakat umum.
Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Sungguh
telah sampai kepadaku (sebuah kabar) bahwa api fitnah dan pertikaian
telah terjadi di antara kalian semua. Kurenungkan sejenak apakah kiranya
penyebab dari itu semua. Kemudian aku berkesimpulan bahwa penyebab itu
semua adalah karena masyarakat zaman sekarang telah banyak yang
mengganti dan merubah kitab Allah Swt. dan Sunnah Rasulullah Saw. Allah
Swt. berfirman dalam surat al-Hujurat ayat 10: “Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu.”
Sementara
masyarakat sekarang menjadikan orang mukmin sebagai musuh dan tidak ada
upaya untuk mendamaikan di antara mereka, bahkan ada kecenderungan untuk
merusaknya. Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan kalian saling menebar iri
dengki, jangan kalian saling membenci dan jangan saling bermusuhan.
Jadilah kalian bersaudara wahai hamba-hamba Allah Swt.”
Sementara
masyarakat zaman sekarang saling iri dengki, saling membenci, saling
bersaing (dalam urusan dunia) dan akhirnya mereka menjadi bermusuhan.
Wahai para ulama yang fanatik terhadap sebagian madzhab dan pendapat.
Tinggalkanlah fanatik kalian dalam urusan-urusan far’iyyah (tidak
fundamental) yang di dalamnya ulama (masih) menawarkan dua pendapat,
yaitu pendapat yang mengatakan bahwa “Setiap mujtahid (niscaya) benar”.
Serta pendapat yang mengatakan “Mujtahid yang benar (pasti hanya) satu,
namun (mujtahid) yang salah tetap mendapat pahala”.
Tinggalkanlah
fanatik (kalian) dan tinggalkanlah jurang yang akan merusak kalian.
Lakukanlah pembelaan terhadap agama Islam, berjuanglah kalian untuk
menangkis orang-orang yang mencoba melukai al-Qur an dan sifat-sifat
Allah Swt. Berjuanglah kalian untuk menolak orang-orang yang berilmu
sesat dan akidah yang merusak. Jihad untuk menolak mereka adalah wajib.
Dan sibukkanlah dirimu untuk senantiasa berjihad melawan mereka.
Wahai
manusia! Di antara kalian ada orang-orang kafir yang memenuhi negeri
ini, maka siapa lagi yang yang bisa diharapkan bangkit untuk mengawasi
mereka dan serius untuk menunjukkannya ke jalan yang benar?
Wahai
para ulama, untuk urusan seperti ini (baca; membela al-Qur an dan
menolak orang yang menodai agama), maka bersungguh-sungguhlah kalian dan
silakan kalian berfanatik. Adapun fanatik kalian untuk urusan-urusan
agama yang bersifat far’iyyah dan mengarahkan manusia ke madzhab
tertentu atau pendapat tertentu, maka itu adalah suatu hal yang tidak
akan diterima Allah Swt. dan tidak senangi oleh Rasulullah Saw.
Yang
membuat kalian semua bertindak seperti itu tiada lain kecuali hanya
kefanatikan kalian (terhadap madzhab tertentu), bersaing dalam
bermadzhab dan saling hasud. Sungguh, kalau saja Imam Syafi’i, Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hajar dan Imam Ramliy masih hidup,
maka pasti mereka akan sangat ingkar dan tidak sepakat atas (perbuatan)
kalian dan tidak mau bertanggung jawab atas apa yang kalian perbuat.
Kalian
mengingkari sesuatu yang masih dikhilafi para ulama, sementara kalian
melihat banyak orang yang tak terhitung jumlahnya, meninggalkan shalat
yang hukumannya menurut Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad adalah
potong leher. Dan kalian tidak mengingkarinya sedikitpun. Bahkan ada di
antara kalian yang telah melihat banyak melihat tetangganya tidak ada
yang melaksanakan shalat, tapi diam seribu bahasa.
Lantas
bagaimana kalian mengingkari sebuah urusan far’iyyah yang terjadi
perbedaan pendapat di antara ulama? Sementara pada saat yang sama kalian
tidak (pernah) mengingkari sesuatu yang (nyata-nyata) diharamkan agama
seperti zina, riba, minum khamar dll.
Sama
sekali tidak pernah terbersit dalam benak kalian untuk terpanggil
(mengurusi) hal-hal yang diharamkan Allah Swt. Kalian hanya terpanggil
oleh rasa fanatisme kalian kepada Imam Syafi’i dan Imam Ibnu Hajar. Yang
hal itu akan menyebabkan tercerai-berainya persatuan kalian,
terputusnya hubungan keluarga kalian, terkalahkannya kalian oleh orang
yang bodoh-bodoh, jatuhnya wibawa kalian di mata masyarakat umum dan
harga diri kalian akan jadi bahan omongan orang-orang yang tolol dan
akhirnya kalian akan (membalas) merusak mereka sebab gunjingan mereka
seputar kalian. (Itu semua terjadi) karena daging kalian telah teracuni
dan kalian telah merusak diri kalian dengan dosa-dosa besar yang kalian
perbuat.
Wahai para ulama, apabila kalian
melihat orang yang mengamalkan pendapat dari para imam ahli madzhab yang
memang boleh untuk diikuti, walaupun pendapat itu tidak unggul, apabila
kalian tidak sepakat dengan mereka, maka jangan kalian menghukuminya
dengan keras, tapi tunjukkanlah mereka dengan lembut. Dan apabila mereka
tidak mau mengikuti anjuran kalian, maka jangan sekali-sekali kalian
menjadikan mereka sebagai musuh. Perumpamaan orang-orang yang melakukan
hal di atas adalah seperti orang yang membangun gedung tapi merobohkan
tatanan kota.
Jangan kalian jadikan keengganan
mereka untuk mengikuti kalian, sebagai alasan untuk perpecahan,
pertikaian dan permusuhan. Sesungguhnya perpecahan, pertikaian dan
permusuhan adalah kejahatan yang mewabah dan dosa besar yang bisa
merobohkan tatanan kemasyarakatan dan bisa menutup pintu kebaikan.
Untuk
itu, Allah Swt. melarang hambaNya yang mukmin dari pertentangan dan
Allah Swt. mengingatkan mereka bahwa akibatnya sangat buruk serta
ujung-ujungnya sangat menyakitkan. Allah Swt. berfirman dalam surat
al-Anfal ayat 46: “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”
Wahai
orang-orang muslim, sesungguhnya di dalam tragedi yang terjadi
hari-hari ini, ada ‘ibrah (hikmah) yang banyak serta nasehat yang sangat
layak diambil oleh orang yang cerdas dari hanya mendengarkan
mau’idzahnya para penceramah dan nasehatnya pada mursyid.
Ingatlah
bahwa kejadian di atas adalah merupakan kejadian yang setiap saat akan
selalu menghampiri kita. Maka apakah bagi kita bisa mengambil ‘ibrah dan
hikmah? Dan apakah kita sadar dari lelap dan lupa kita?
Dan
kita mesti sadar, kebahagiaan kita itu tergantung dari sifat tolong
menolong kita, persatuan kita, kejernihan hati kita dan keikhlasan
sebagian dari kita kepada yang lain. Ataukah kita tetap berteduh di
bawah perpecahan, pertikaian, saling menghina, hasud dan kesesatan?
Sementara agama kita satu, yaitu Islam dan madzhab kita satu, yaitu Imam
Syafi’i dan daerah kita juga satu yaitu Jawa. Dan kita semua adalah
pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Maka demi
Allah Swt., sesungguhnya perpecahan, pertikaian, saling menghina dan
fanatik madzhab adalah musibah yang nyata dan kerugian yang besar.
Wahai
orang-orang Islam, bertaqwalah kepada Allah Swt. dan kembalilah kalian
semua kepada Kitab Tuhan kalian. Dan amalkan Sunnah Nabi kalian serta
ikutilah jejak para pendahulu kalian yang shaleh-shaleh. Maka kalian
akan berbahagia dan beruntung seperti mereka.
Bertaqwalah
kepada Allah Swt. dan damaikanlah orang-orang yang berseteru di antara
kalian. Saling tolong menolonglah kalian atas kebaikan dan taqwa. Jangan
saling tolong menolong atas dosa dan aniaya, maka Allah Swt. akan
melindungi kalian dengan rahmatNya dan akan menebarkan kebaikanNya.
Jangan seperti orang yang berkata: “Aku mendengarkan” padahal mereka
tidak mendengarkan.
Wassalamu fi al-mabda’ wa al-khitam.
Dipanggil Yang Kuasa
Malam
itu, tanggal 3 Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947
M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat Tarawih.
Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada
ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan
Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut
didampingi Kiai Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu
menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman.
Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.2. Hadiratus Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ari diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran tersebut.
Empat
hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam,
datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa
surat untuk disampaikan kepada Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai
Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam
Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan
Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi
korban. Hadratusy Syeikh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi
jawaban.
Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh
mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya)
bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai
basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan
Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil
kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya
Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. kemudian beliau memegang
kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang
mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak
menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu
tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada
disamping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian Kiai Ghufron baru
menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan
tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim.
Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada ditempat, Kiai Yusuf
Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang,
walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka
Nitisastro).
Pada saat itu, putra-putri beliau
tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai
berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut
hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak
(asemblonding) yang sangat serius.
Pada pukul
03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan
1366 H, Hadratuys Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ri dipanggil yang Maha Kuasa.
Inna lillahi wa Inna Ilayhi Raji’un.
Kepergian
beliau ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan belasungkawa yang
amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para
pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU,
dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan
pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau ditenggah
Pesantren Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan
saudara beliau, KH. Wahab Hasbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan
yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup beliau, yakni, “berjuang
terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat".
***
Atas
jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama
yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting: Pertama, perang
melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat
Islam Indonesia. Kedua, kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan
haji dengan kapal Belanda. Ketiga, Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi
dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. Maka Presiden
Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan
bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional. []
Hadlratusy
Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Ahlussunnnah wal Jama’ah
terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), merupakan ulama yang
memiliki banyak jalur sanad keilmuan kepada ulama-ulama terdahulu,
bahkan sampai kepada para sahabat dan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Terkait dengan pentignya sanad keilmuan, Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Tiada ilmu tanpa sanad”.
Organisasi
NU merupakan organisasi ulama yang memiliki banyak jalur sanad karena
memang menekankan pentinya sanad keilmuan. Berbeda halnya dengan
beberapa organisasi lain. Inilah keberkahan Nahdlatul Ulama.
Ibnul
Mubarak berkata, “Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan
karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan
apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47
no:32).
Ulama
yang shalih, ketika berkata dengan kitab Imam Al-Bukhari itu karena
mereka sudah memiliki sanad kepada Imam Al-Bukhari, demikian pula yang
lainnya. Hadlatusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari juga memiliki sanad
penyusun Ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Muslim) serta sanad kepada
Al-Muwaththa’ Imam Malik.
Berikut silsilah sanadnya:
SANAD KH HASYIM ASY’ARI SAMPAI SHAHIH AL-BUKHARI
سند الشيخ هاشم أشعري لصحيح البخاري :
قال
رحمه الله : اتصلت الينا رواية صحيح البخاري سماعا من أوله الى آخره عن
شيخنا العلامة محمد محفوظ بن عبد الله الجاوي ثم المكي قرأت عليه من أول
سنة 1317 هـ الى 1319 هـ بمكة المكرمة وأجازني بقراته كما أجازني بقراءة
غيره من كتب الحديث عن شيخه السيد أبي بكر بن محمد شطا المكي عن السيد احمد
زيني دحلان عن الشيخ عثمان بن حسن الدمياطي عن الشيخ على الشنواني عن عيسى
بن احمد البراوي عن الشيخ احمد الدفري عن الشيخ سالم بن عبد الله البصري
عن والد عبد الله بن سالم البصري عن الشيخ محمد بن علاء الدين البابلي عن
الشيخ سالم بن محمد السنهوري عن النجم محمد بن احمد الغيطي عن شيخ الإسلام
زكريا الأنصاري بن محمد الأنصاري عن الحافظ احمد بن علي بن حجر العسقلاني
عن ابراهيم بن احمد التنوخي عن ابى العباس بن ابي طالب الحجاز عن الحسين بن
المبارك الزبيدي الحنبلي عن ابى الوقت عبد الأول بن عيسى السحزي عن أبي
الحسين عبد الرحمن بن مظفر الداوودي عن أبي محمد عبد الله بن احمد السخسي
عن أبي عبد الله بن محمد بن يوسف الفربوي عن جامعه الإمام أبى عبد الله
محمد بن إسماعيل البخاري ابن المغيرة بن بردزبة رحمه الله ونفعنا به
وبعلومه. آمين
SANAD KH HASYIM ASY’ARI SAMPAI KE SHAHIH AL-MUSLIM
وقال فى سنده لصحيح المسلم :
سماعا
لبعصه وإجازة لباقيه على الشيخ محفوظ عن الشيخ أبي بكر شطا بسنده الى
الشيخ عيسى البراوي عن الشيخ احمد بن عبد الفتاح الملوي عن الشيخ حسن
الكودي عن أحمد بن محمد القشاشي عن الشمس محمد بن احمد الرملي عن الزيني
زكريا بن محمد الأنصاري عن عبد الرحيم بن الفرات عن محمد بن الفرات عن محمد
بن خليفة الدمشقي عن الحافظ عبد المؤمن بن خلف الدمياطي عن ابي الحسن
المؤيد بن محمد الطوسي عن ابى عبد الله محمد بن الفضل الفراوي عن عبد الله
الغافر بن محمد الفارسي عن ابي احمد محمد الجلودي عن ابى اسحاق محمد بن
سفيان الفقيه النيسابوري عن الإمام الحافظ ابي الحسين مسلم بن الحجاج بن
مسلم القشيري النيسابوري رضي الله تعالى عنهم ونفعنا بهم
.
.
SANAD KH HASYIM ASY’ARI SAMPAI KE AL-MUWATHTHA’ IMAM MALIK
و قال فى سنده للموطأ :
حصلت لنا رواية وإجازة بقراءة موطأ الإمام مالك عن شيخنا محمد محفوظ عن الشيد ىمين المدني عن الشيخ عبد الغني بن ابى سعيد العمري عن عبد العزيز بن احمد العمري عن والده احمد بن عبد الرحيم العمري عن محمد وفد الله المكي عن الحسن بن علي العجيمي عن عبد الله بن سالم البصري عن الشيخ عيسي المغربي عن الشيخ سلطان بن احمد المزاحي عن احمد بن خليل السبكى عن النجم محمد بن احمد الغيطي عن الشرف عبد الحق السنباطي عن البدر حسين بن حسين عن محمد بن جابر الوداشي عن ابي محمد عبد الله بن هارون القرطبي عن القاضي ابي القاسم احمد بن يزيد القرطبي عن محمد بن عبد الرحمن بن عبد الحق الخزرجي عن ابى عبد الله محمد بن فرج مولى ابي طلاع عن ابي الوليد يونس بن عبد الله بن مغيث الصفار عن ابي عيسى يحيى ابي عبد الله بن يحيى عن عم ابيه ابي مروان عبيد الله بن يحيى عن ابيه يحيى بن يحيى الليثي عن إمام دار الهجرة الحافظ الحجة مالك بن انس الأصبحي رضي الله عنهم ونفعنا بهم
حصلت لنا رواية وإجازة بقراءة موطأ الإمام مالك عن شيخنا محمد محفوظ عن الشيد ىمين المدني عن الشيخ عبد الغني بن ابى سعيد العمري عن عبد العزيز بن احمد العمري عن والده احمد بن عبد الرحيم العمري عن محمد وفد الله المكي عن الحسن بن علي العجيمي عن عبد الله بن سالم البصري عن الشيخ عيسي المغربي عن الشيخ سلطان بن احمد المزاحي عن احمد بن خليل السبكى عن النجم محمد بن احمد الغيطي عن الشرف عبد الحق السنباطي عن البدر حسين بن حسين عن محمد بن جابر الوداشي عن ابي محمد عبد الله بن هارون القرطبي عن القاضي ابي القاسم احمد بن يزيد القرطبي عن محمد بن عبد الرحمن بن عبد الحق الخزرجي عن ابى عبد الله محمد بن فرج مولى ابي طلاع عن ابي الوليد يونس بن عبد الله بن مغيث الصفار عن ابي عيسى يحيى ابي عبد الله بن يحيى عن عم ابيه ابي مروان عبيد الله بن يحيى عن ابيه يحيى بن يحيى الليثي عن إمام دار الهجرة الحافظ الحجة مالك بن انس الأصبحي رضي الله عنهم ونفعنا بهم
Inilah Maklumat Rais Akbar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari Untuk Ulama Aswaja
Maklumat
ini dibuat langsung oleh Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ary rahimahullah
ditujukan kepada ulama ahlussunnah wal jamaah secara umum dan anggota
Syuriah NU pada khususnya.
Tertera
sebagai maklumat No. 7, kop surat NU, tertulis Sasak Street No. 66
Surabaya. Tertanda: Rais, Katib Awal, Presiden dan Sekretaris Jamiyyah
Nahdlatul Ulama, bertepatan dengan Idul Fitri tahun 1355 H.
Maklumat tersebut tertulis:
بسم الله الرحمن الرحيم
نشرة
نشرة
ينشرها
الادارة العالية لنهضة العلماء بقلم الفقير الفاني محمد هاشم أشعري
الجمباني عامله الرب بلطفه الداني امين الى علماء اهل السنة و الجماعة
عموما و اعضاء شورية الجمعية خصوصا.
السلام عليكم و رحمة الله وبركاته
حمدا
لله وصلاة و سلاما على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه. وبعد :
فالادارة العالية لنهضة العلماء انها نظرا لمجيئ العيد الجديد و شهر السرور
و الفطر السعيد رأت ان تنبه جميع اعضائها عموما و علمائها و علماء اهل
السنة و الجماعة خصوصا مع تعييدهم و تهنئتهم تقبل الله منا ومنكم الصيام و
القيام و اعاد علينا و عليكم بالعفو التام الى ثلاث نقط.
النقطة الاولى:
ان
الغاية التي ترمى اليها الجمعية هي توحيد صفوف العلماء و ربطهم برابطة
واحدة فقد كان لا يخفى عليكم ان الاتحاد و الوئام سلاح قوي يتذرع الناس الى
مقاصدهم، و طريق موصل يسلكونه الى حيث غاياتهم. ومما لا شك فيه اننا في
عصر ينظر فيه الناس الى الدين نظرة بعيدة عن الاحترام. فحسبنا ان نلتفت
قليلا الى الاماكن العامة مثل الطرقات و الاسواق لنعرف كيف ان روح الدين
ضعيفة جدا. فكان لزاما على علمائنا ان يسلموا شعثهم و يوحدوا صفوفهم و
يؤخروا مقاصدهم الشخصية فيزجوا بانفسهم في سبيل اعلاء كلمة الله تعالى .
قال تعالى :” الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا
آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ
الْكَاذِبِينَ ” بلى ان الفتن و المصائب التي منها هذا الضنك الذي يعانيه
الناس اليوم انما هي تجارب و اختبارات يمتحن الله بها قلوب عباده ليظهر
ايهم صادق في ادعاء الايمان و ايهم كاذب فحكمة الحكيم العليم اقتضت ثقل
الحق و خفة الهوى ليهلك من هلك عن بينة و يحيى من حي عن بينة قد تحقق عند
كل واحد ان التكاليف الشرعية و ان كانت امورا اعتدالية فهي شاقة على النفس و
لا تتلقى الا بالصبر الجميل ولذلك وجب علينا ان نعضدها بالصبر فان فى
الصبر خيرا كثيرا اذ حفت الجنة بالمكاره و حفت النار بالشهوات وما من داع
الى الله الا وهو يأمر المدعو بشد عقدة الصبر حتى عده رسول الله صلى الله
عليه و سلم نصف الايمان . قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” الايمان
نصفه صبر و نصفه شكر”. و قال سيدنا عيسى عليه السلام : ” انكم لا تدركون ما
تحبون الا بالصبر على ما تكرهون”. و قال سيدنا موسى عليه السلام لقومه: ”
استعينوا بالله واصبروا “. فتعاونوا اخواني بركوبكم مطية الصبر على حمل
اعباء التكاليف الاجتماعية و لا تسنوا الكسل لانفسكم و لاخوانكم فإنه من سن
سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها الى يوم القيامة.
النقطة الثانية:
ان
جمعيتنا في حاجة شديدة الى مساعدة رجالها العاملين قال عز و جل : ” يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ
وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ “. فيظهر من هنا ان نصر الله ايانا معلق بنصرنا
اياه . فإذا احببنا ان ينصرنا الله وجب علينا ان ننصره اولا وذلك بإعلاء
كلمته العليا و الدعوة التامة لها و الدفاع عنها و الذود عن حياضها ولا
يحصل ذلك الا اذا حققنا الوعود و العهود و القرارات التى اتفقنا عليها كما
هو مكتوب فى القانون الاساسى لجمعيتنا بدون التفات الى مصاعب مادية و خسائر
مالية و اثقال و اتعاب شخصية فإن الساعى على الارملة و المساكين كالمجاهد
فى سبيل الله و كالقائم لا يفتر و كالصائم لا يفطر و من كان فى حاجة اخيه
كان الله فى حاجته حديث صحيح رواه البخاري.
النقطة الثالثة:
ان
جمعيتنا المباركة و لله الحمد قد حازت اقبال العوام عليها و ليس ذلك الا
لكونها تعمل لمصلحتهم و تسعى لخيرهم دنيا و اخرى و لكونها مؤسسة على خطة
سلف الصالح رضوان الله عليهم فيجب على كل واحد من علمائنا ان لا يعزب عن
باله هذه القضية المهمة و هي ان اصلاح العوام و ارشادهم و اخراجهم من ظلمات
الضلال الى نور الهدى و انشالهم من وهدة الجهالة و الرذالة الى ذروة العلم
و الفضيلة كل ذلك محمل على اكتاف علمائنا فإن العلماء امناء الله على
عباده كما ورد فى الحديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم ومن ثم فالواجب
على علمائنا ان يضاعفوا جهودهم و ان لا يدخروا شيئا من وسعهم من ان يعملوا
ما رواه البخارى فى صحيحه عن حذيفة رضي الله عنه انه قال : يا معشر القراء
استقيموا فان اخذتم يمينا و شمالا لقد ضللتم ضلالا بعيدا فيلقبوا حينئذ
امناء الله على عباده حتى لا يسوغ القائل ان يقول اذا خان الامناء فمن الذي
يثقه الناس يا ترى يجب عليهم ذلك و هم متساندون متعاضدون متحالفون في ضلال
جمعيتنا نهضة العلماء لما هو معلوم من ان يد الله مع الجماعة .
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا
وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا
اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ
إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي
أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ
الْكَافِرِينَ فَآتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ
الْآخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
تبوايرع ، عيد الفطر من سنة 1355
ساسك سترات 66 سورابيا
الإدارة العالية لنهضة العلماء
الرئيس لنهضة العلماء – الكاتب الأول
فرسيدين لنهضة العلماء – سكرتاريس لنهضة العلماء
ساسك سترات 66 سورابيا
الإدارة العالية لنهضة العلماء
الرئيس لنهضة العلماء – الكاتب الأول
فرسيدين لنهضة العلماء – سكرتاريس لنهضة العلماء
Berikut Terjemahannya:
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pujian
hanya untuk Allah. Shalawat dan salam semoga melimpah pada Rasulullah,
keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mencintainya. Sesudahnya (wa
ba’du): Bersamaan dengan datangnya hari raya idul fitri Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) perlu mengigatkan tiga hal penting di bawah ini
kepada semua anggota NU pada umumnya, para ulama NU, dan ulama
ahlussunnah wal jamaah pada khususnya.
Pertama:
Tujuan
NU adalah mempersatukan barisan ulama dan mengikatnya dengan satu
ikatan. Sungguh tidak diragukan lagi bahwa persatuan dan kesepakatan
adalah senjata ampuh yang dimiliki manusia untuk menggapai
tujuan-tujuannya, dan jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada
tujuan-tujuannya. Adalah sesuatu yang tidak diragukan bahwa sesungguhnya
kita berada pada suatu masa di mana manusia tidak memuliakan agama.
Cukuplah kita sedikit mengamati pada tempat-tempat umum sebagaimana
jalan dan pasar, kita akan mengetahui bagaimana ruh agama sangat lemah.
Maka suatu keharusan bagi para ulama kita untuk menyelamatkan dari
perpecahan dan menyatukan barisan mereka, mengenyampingkan tujuan-tujuan
pribadi dan menyediakan diri mereka di jalan Allah untuk meluhurkan
kalimat-Nya. Allah SWT telah berfirman yang artinya: “Apakah manusia
mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan: ‘kami telah
beriman’ dan mereka tidak diuji? Dan sungguh Kami telah menguji
orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang
benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut
1-3).
Benar,
sesungguhnya fitnah dan musibah yang menyebabkan kesulitan dan
kesempitan yang dialami manusia hari-hari ini hanyalah merupakan ujian
dan cobaan dari Allah bagi hati hamba-hamba-Nya supaya tampak jelas
siapa di antara mereka yang sungguh-sungguh benar dalam pengakuan
keimanan dan siapa di antara mereka yang berbohong. Adalah kebijaksanaan
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dia telah menciptakan
kebenaran itu berat sangganya dan keinginan hawa nafsu itu sangat ringan
dan mudah, supaya orang yang binasa (kufur) itu binasa (kufur) dengan
bukti yang nyata, dan agar orang yang hidup (beriman) itu hidup
(beriman) dengan bukti yang nyata. Setiap orang telah membuktikan bahwa
sesungguhnya tugas-tugas syari’at meskipun yang sedang-sedang itu berat
bagi nafsu dan tidak dapat diterima kecuali dengan kesabaran yang tidak
disertai keluhan. Sesungguhnya di dalam kesabaran terdapat kebaikan yang
banyak, karena surga dikepung oleh hal-hal yang tidak menyenangkan dan
neraka dikepung oleh hal-hal yang menyenangkan hawa nafsu. Tidak ada
seorang pendakwah kecuali dia memerintahkan untuk memperkuat tali
kesabaran. Karena pentingnya kesabaran inilah Rasulullah SAW menganggap
sebagai separuh iman. Rasulullah SAW bersabda: “Separuh iman adalah
kesabaran dan separuhnya lagi adalah syukur.” Nabi Isa AS berkata:
“Sesungguhnya kalian tidak akan menemukan apa yang engkau cintai kecuali
dengan kesabaran pada apa yang kau benci.” Nabi Musa AS berkata pada
kaumnya: “Mintalah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah.”
Wahai
saudara-saudaraku, saling tolong menolonglah dengan kendaraan kesabaran
kalian untuk melaksanakan tugas berat organisasi. Janganlah membiasakan
kemalasan bagi dirimu dan saudara-saudaramu, sesungguhnya orang yang
membuat kebiasaan buruk maka dosa keburukan itu baginya dan dosa-dosa
orang yang menirunya sampai di hari Kiamat.
Kedua:
Sesungguhnya
jamiyyah kita sangat membutuhkan sumbangan tenaga para aktivis yang
tangguh. Allah telah berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman, jika kalian menolong agama Allah dan rasul-Nya, maka Allah akan
menolongmu untuk mengalahkan musuhmu dan Allah akan mengukuhkan
kedudukanmu dalam pertempuran.” (QS. Muhammad 7).
Dari
ayat di atas jelas sekali bahwa pertolongan Allah pada kita tergantung
pada pertolongan kita pada agama dan Rasul-Nya. Dengan demikian jika
kita menginginkan pertolongan Allah maka kita harus menolong-Nya lebih
dahulu. Pertolongan pada Allah itu dengan meluhurkan kalimat-Nya, dakwah
dengan sempurna, dan membela kehormatannya. Demikian ini tidak akan
terlaksana kecuali ketika kita betul-betul mematuhi ketentuan yang
terdapat dalam muqarrarat yang telah kita sepakati bersama sebagaimana
yang terkandung dalam Qanun Asasi (AD/ART) jamiyyah kita tanpa
memperdulikan kesulitan-kesulitan material, kerugian harta benda, beban
dan kepayahan personal. Sesungguhnya orang yang berusaha menanggung
janda-janda (beserta yatimnya) dan orang-orang miskin itu sebagaimana
para mujahid fi sabilillah, sebagaimana orang shalat malam tanpa putus,
dan sebagaimana orang puasa tanpa berbuka. “Barangsiapa memperhatikan
kebutuhan orang lain maka Allah akan menanggung kebutuhannya.” (HR. Imam
Bukhari).
Ketiga:
Sesungguhnya
organisasi kita yang diberkahi telah memperoleh simpati orang umum.
Demikian tiada lain karena organisasi ini bergerak untuk kemashlahatan
dan kebaikan dunia dan akhirat mereka. Juga karena jamiyyah kita ini
didasarkan pada garis orang-orang shalih terdahulu -semoga Allah
melimpahkan ridlanya pada mereka-. Maka wajib bagi masing-masing ulama
kita untuk mengingat dan memperhatikan ketentuan bahwa memperbaiki dan
menunjukkan orang awam, mengeluarkan mereka dari kegelapan kesesatan
menuju nur petunjuk, dan mengentaskan mereka dari lubang kebodohan dan
kehinaan menuju puncak mulianya ilmu dan keutamaan, semua itu adalah
merupakan beban tanggung jawab yang berada di pundak para ulama kita.
Sesungguhnya ulama adalah kepercayaan Allah (untuk membimbing umat
manusia) di muka bumi sebagaimana Hadis yang telah disampaikan oleh
Rasulullah SAW.
Oleh
karena itu, adalah suatu kewajiban bagi ulama kita untuk
melipatgandakan kesungguhan mereka, tidak menyimpan sedikitpun potensi
mereka untuk melaksanakan apa yang telah disampaikan Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Hudzaifah RA. Nabi bersabda:
“Wahai para ulama, berjalanlah pada lajur yang istiqamah, jika kalian
beralih pada jalan kanan atau kiri maka sungguh tersesatlah kalian
dengan kesesatan yang jauh.”
Jika
para ulama kita sudah dapat memenuhi Hadis di atas maka pantas disebut
“umana`ullah (orang-orang kepercayaan Allah atas hamba-hamba-Nya)”
sehingga tidak pantas ada seorang yang berkata: “Ketika para manusia
yang menjadi kepercayaan (ulama) itu berkhianat maka siapa lagi yang
dapat dipercaya?.”
Ketahuilah,
betapa kewajiban tersebut harus dilaksanakan oleh para ulama dengan
saling sanding-menyanding, kukuh-mengukuhkan, ganti-menggantikan di
bawah naungan jamiyyah kita NU, karena sudah maklum bahwa pertolongan
Allah itu diberikan pada jamaah (golongan yang bersatu). Allah SWT
berfirman yang artinya: “Dan berapa banyak Nabi yang berperang
didampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak
menjadi lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah
semangat dan tidak pula menyerah. Dan Allah mencintai orang-orang yang
sabar. Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa: ‘Ya Tuhan kami,
ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan di
dalam urusan kami, dan tetapkan pendirian kami, dan tolonglah kami
terhadap orang-orang kafir.’ Maka Allah memberi mereka pahala di dunia
dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencitai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran 146-148).
Tebuireng, Idul Fitri Tahun 1355 H.
Sasak Street No. 66 Surabaya
Idarah Aliyah Nahdlatul Ulama
Rais NU – Katib Awal
Presiden NU – Sekretaris NU
Sasak Street No. 66 Surabaya
Idarah Aliyah Nahdlatul Ulama
Rais NU – Katib Awal
Presiden NU – Sekretaris NU
Gambar foto Maklumat Rais Akbar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari
0 komentar:
Posting Komentar